TERJEMAH HUJJAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
(karya: KH Ali Maksum)
(karya: KH Ali Maksum)
PENETAPAN
BULAN RAMADHAN & SYAWWAL
ثُبُوْتُ شَهْرَيْ رَمَضَانَ
وَشَوَّالٍ
فَفِي هَذَا الزَّمَانِ, أَيْ مُنْذُ نِصْفِ
قَرْنٍ تَقْرِيْبًا فِيْ إِنْدُوْنِيْسِيَا مَثَلًا, يَثُوْرُ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ
جَدَلٌ وَمِرَاءٌ حَوْلَ ثُبُوْتِ الشَّهْرَيْنِ رَمَضَانَ وَ شَوَّالٍ, لِتَعْيِيْنِ أَوَّلِ
رَمَضَانَ لِابْتِدَاءِ الصَّوْمِ, وَشَوَّالٍ لِعِيْدِ الْفِطْرِ.
Pada masa kini, kira-kira sejak setengah abad yang lalu di Indonesia
misalnya, pernah terjadi perdebatan yang cukup seru di kalangan kaum muslimin
seputar penetapan awal ramadhan untuk memulai berpuasa dan awal Syawal untuk
berhari raya idul fitri.
وَنَحْنُ نَنْصَحُ ذَوِى
الشَّأْنِ اَنْ يُفَصِّلُوْا فِي الْمَسْأَلَةِ بِالرُّجُوْعِ إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
وَالْاِعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَاجْتِنَابِ التَّفَرُّقِ. فَإِنَّ بَدْأَ
الصِّيَامِ وَيَوْمِ عِيْدِ الْفِطْرِ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ تَعَالَى وَمِنْ مَعَالِمِ
تَوْحِيْدِ الْكَلِمَةِ عَلَى كَلِمَةِ التَّوْحِيْدِ.
Kami berpesan kepada para
ulama yang berkompeten agar mengkaji masalah ini dengan semangat
kembali kepada Al-Qur`an dan Assunnah, serta
berpegang teguh kepada tali agama Allah (hablullah) secara
menyeluruh dan menghindari perpecahan. Karena penetapan awal puasa dan hari
raya idul fitri merupakan sebagian dari syi’ar Allah dan
simbol penyatuan kata melalui kalimat tauhid : La
ilaaha illallaah.
وَهُنَا تَحْقِيْقَاتٌ عِلْمِيَّةٌ
شَرْعِيَّةٌ قَامَ بِهَا أَئِمَّةٌ أَعْلَامٌ, كَانَ مِنْ نَتَائِجِهَا اَنْ
عَلِمْنَا :
Dalam persoalan ini, para
ulama` besar dunia melakukan kajian secara ilmiyyah syar’iyyah. Diantara
kesimpulan yang perlu kita ketahui adalah :
(1)أَنَّ أَئِمَّةِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ أَجْمَعَتْ عَلَى أَنَّ
شَهْرَ رَمَضَانَ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ : رُؤْيَةِ هِلَالِهِ أَوْ
إِكْمَالِ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا, اِذَا كَانَ هُنَاكَ مَا يَمْنَعُ الرُّؤْيَةَ
مِنْ غَيْمٍ اَوْ دُخَانٍ اَوْ غُبَارٍ اَوْ نَحْوِهَا.
1. Imam
madzhab empat sepakat, bahwa penetapan awal bulan ramadhan tiada lain adalah
melalui salah satu dari dua cara, yaitu ru`yatul hilal, atau
menyempurnakan bilangan tiga puluh hari bulan Sya’ban, jika hilal tidak
berhasil di-rukyat disebabkan terhalang oleh mendung,
awan, debu dan sejenisnya.
(2) وَأَنَّهُمْ أَجْمَعُوْا أَيْضًا عَلَى أَنَّ
دُخُوْلَ شَوَّالٍ يَثْبُتُ كَذَلِكَ بِرُؤْيَةِ هِلَالِهِ. فَإِنْ لَمْ
يُرَ هِلَالُ شَوَّالٍ وَجَبَ إِكْمَالُ رَمَضَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا.
2. Mereka sepakat, bahwa
masuknya awal bulan syawal juga ditetapkan dengan cara seperti di
atas, yakni dengan rukyatul hilal. Jika hilal syawal tidak
berhasil di-rukyat, maka wajib menyempurnakan bulan ramadhan tiga
puluh hari.
(3) وَأَنَّ سِيْرَةَ الْمُسْلِمِيْنَ
جَمِيْعًا عَلَى ذَلِكَ بِدُوْنِ اسْتِثْنَاءٍ, اِذْ لَمْ نَقِفْ عَلَى خِلَافٍ لَهُ
مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ خَارِجَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَ الْجَمَاعَةِ قَبْلَ
ظُهُوْرِ الْخِلَافِ فِي الزَّمَنِ الْأَخِيْرِ.
3. Seluruh kaum muslimin pada dasarnya telah melakukan “tradisi
keagamaan” seperti itu, tanpa kecuali, karena kami tidak melihat
adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli qiblat (orang
Islam) di luar ahlissunnah waljama’ah, sebelum munculnya
perselisihan pendapat akhir-akhir ini.
(4) وَأَنَّ اَهْلَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
وَ غَيْرَهُمْ أَجْمَعُوْا كُلُّهُمْ عَلَى عَدَمِ جَوَازِ الْعَمَلِ بِالْحِسَابِ.
هَذَا بِالنِّسْبَةِ لِلْعُمُوْمِ. وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِلْحَاسِبِ نَفْسِهِ وَتَلَامِيْذِهِ
فَقَدْ جَوَّزَهُ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ وَحْدَهُ. وَ أَمَّا غَيْرُهُ
مِنَ الْأَئِمَّةِ, سَوَاءٌ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَغَيْرِهِمْ فَقَالُوْا
بِالْمَنْعِ مُطْلَقًا, اَيْ لِلْعُمُوْمِ وَ الْخُصُوْصِ.
4. Baik Ahlusunnah
Waljama’ah maupun golongan lainnya, kesemuanya menyepakati
ketidakbolehan menggunakan hisab dalam menentukan awal Ramadhan
dan awal syawal, jika hal ini diberlakukan untuk kalangan umum. Namun, jika
terbatas untuk kalangan ahli hisab sendiri beserta para
muridnya, hanya imam Syafi’i saja yang memperbolehkannya. Sedangkan para ulama’
lainnya, baik dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah maupun
golongan lainnya tidak memperbolehkannya secara mutlak, baik untuk kalangan
umum maupun kalangan terbatas.
(5) وَأَنَّ الْعِبْرَةَ فِيْ ثُبُوْتِ
شَهْرَيْ رَمَضَانَ وَشَوَّالٍ بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ, لَا بِوُجُوْدِهِ بِالْفِعْلِ
فِي الْوَاقِعِ الَّذِيْ قَدْ يُعْرَفُ مِنْ طَرِيْقِ الْحِسَابِ.
5. Yang dianggap sah dalam
penetapan awal bulan ramadhan dan syawal adalah dengan cara melihat hilal, bukan
dengan terwujudnya hilal yang terjadi dalam kenyataan (wujudul
hilal bil fi’li fil waqi’) yang terkadang dapat diketahui melalui
jalan hisab.
هَذِهِ النَّتَائِجُ الْخَمْسُ مَعْلُوْمَةٌ مِنَ التَّحْقِيْقَاتِ
الْآتِيَةِ :
Kelima kesimpulan tersebut diketahui dari hasil kajian sebagai berikut :
وَفِيْ الْفِقْهِ عَلَى الْمَذَاهِبِ
الْأَرْبَعَةِ يَثْبُتُ شَهْرُ رَمَضَانَ بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ : اَلْأَوَّلُ رُؤْيَةُ
هِلَالِهِ إِذَا كَانَتِ السَّمَاءُ خَالِيَةً مِمَّا يَمْنَعُ الرُّؤْيَةَ
مِنْ غَيْمٍ اَوْ دُخَانٍ اَوْ غُبَارٍ اَوْ نَحْوِهَا. اَلثَّانِيْ إِكْمَالُ شَعْبَانَ
ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا إِذَا لَمْ تَكُنِ السَّمَاءُ خَالِيَةً مِمَّا ذُكِرَ, لِقَوْلِهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ ).
Didalam kitab Al-Madzahibul
Arba’ah dijelaskan, bahwa awal bulan Ramadhan ditetapkan berdasarkan
salah satu dari dua cara : Pertama, dengan cara rukyatul hilal jika
langit cerah dan terbebas dari sesuatu yang menghalangi keberhasilan rukyat seperti
mendung, kabut, debu dan sejenisnya. Kedua, dengan
menyempurnakan bilangan bulan sya’ban 30 hari, jika langit tidak cerah atau
terhalang oleh sesuatu yang menyebabkan ketidakberhasilan rukyat,
berdasarkan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam:
Artinya : “Berpuasalah
karena berhasil melihat hilal dan berbukalah (beridul fitri) karena berhasil
melihat hilal. Jika terjadi mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan sya’ban
berumur tigapuluh hari”. (HR al-Bukhari, dari Abi Hurairah ra).
وَفِيْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ "فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ", وَجَدْنَا الْحَنَابِلَةَ يَحْتَاطُوْنَ,
فَقَالُوْا : إِذَا غُمَّ الْهِلَالُ فِيْ غُرُوْبِ الْيَوْمِ التَّاسِعِ وَ الْعِشْرِيْنَ
مِنْ شَعْبَانَ, فَلَا يَجِبُ إِكْمَالُ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا وَوَجَبَ عَلَيْهِ
تَبْيِيْتُ النِّيَّةِ وَصَوْمُ الْيَوْمِ التَّالِيْ لِتِلْكَ اللَّيْلَةِ,
سَوَاءٌ كَانَ فِي الْوَاقِعِ مِنْ شَعْبَانَ اَوْ مِنْ رَمَضَانَ, وَيَنْوِيْهِ عَنْ
رَمَضَانَ. فَإِنْ ظَهَرَ فِيْ أَثْنَائِهِ أَنَّهُ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَجِبْ إِتْمَامُهُ.
Mengenai sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Fa
in ghumma ‘alaikum” (jika terjadi mendung atas kalian), kami menemukan
pendapat dari ulama Hanabilah yang bersikap hati-hati, bahwa yang
dimaksudkannya adalah jika hilal terhalang mendung ketika
matahari tenggelam pada tanggal 29 Sya’ban, maka tidak perlu menyempurnakan
bulan sya’ban 30 hari, namun wajib menginapkan niat puasa di malam harinya dan
berpuasa pada hari berikutnya, baik hari itu menurut kenyataannya masih
termasuk bulan sya’ban ataupun sudah masuk bulan ramadhan, kemudian berniat
puasa ramadhan. Jika di tengah menjalankan puasanya itu ternyata terbukti bahwa
hari itu termasuk bulan Sya’ban, maka ia tidak perlu meneruskan puasanya.
قَوْلُهُمْ هَذَا بِالنِّسْبَةِ لِأَوَّلِ
رَمَضَانَ. وَأَمَّابِالنِّسْبَةِ لِآخِرِهِ,فَإِنَّهُمْ كَالشَّافِعِيَّةِ
وَالْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ فِي الْقَوْلِ بِوُجُوْبِ إِكْمَالِ رَمَضَانَ
ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا إِذَا غُمَّ عَلَيْهِمْ .كُلُّ ذَلِكَ عَمَلًا بِالْاِحْتِيَاطِ
فِي الْعِبَادَةِ.
Pendapat Hanabilah tersebut
berkaitan dengan pelaksanaan awal bulan Ramadhan. Jika berkaitan dengan akhir
bulan Ramadhan, mereka berpendapat sama seperti yang dikemukakan oleh ulama syafi’iyah,
hanafiyah dan malikiyah, yaitu wajib menyempurnakan
bilangan 30 hari bulan ramadhan, jika terjadi mendung (sehingga hilal tidak
berhasil di-rukyat). Kesemuanya itu sebagai bentuk kehati-hatian mereka
dalam beribadah.
هَكَذَا أَجْمَعَ أَئِمَّةُ الْمَذَاهِبِ
الْأَرْبَعَةِ عَلَى الرُّؤْيَةِ اَوِ الْإِكْمَالِ فَقَطْ. فَلَيْسَ عِنْدَهُمْ
طَرِيْقٌ آخَرُ غَيْرُهَا. وَذَلِكَ عَمَلًا بِالْحَدِيْثِ الْمَذْكُوْرِ.
Itulah hasil kesepakatan para imam madzhab empat hanya
tentang rukyat dan ikmal saja. Tidak ada cara lain menurut mereka, selain
dengan jalan rukyat atau ikmal. Hal ini sebagai bentuk pengamalan mereka
terhadap hadis yang dituturkan di muka
فَلَا عِبْرَةَ بِقَوْلِ الْمُنَجِّمِيْنَ
أَيْ أَهْلِ الْحِسَابِ عِنْدَهُمْ. فَلَا يَجِبُ عِنْدَهُمْ عَلَى أَهْلِ الْحِسَابِ
أَنْفُسِهِمْ اَلصَّوْمُ, وَعَلَى مَنْ وَثِقَ بِهِمْ, غَيْرَ أَنَّ الْإِمَامَ
الشَّافِعِيَّ وَالشَّافِعِيَّةَ قَالُوْا : يُعْتَبَرُ قَوْلُ الْمُنَجِّمِ فِيْ
حَقِّ نَفْسِهِ وَحَقِّ مَنْ صَدَّقَهُ, وَلَا يَجِبُ الصَّوْمُ عَلَى عُمُوْمِ
النَّاسِ بِقَوْلِهِ عَلَى الرَّاجِحِ.
Dengan begitu,
pendapat ahli nujum atau ahli hisab dipandang
tidak sah, sehingga tidak wajib atas diri mereka sendiri untuk
berpuasa berdasarkan hasil hisab-nya dan juga tidak wajib atas
orang-orang yang percaya kepada ucapan ahli hisab tersebut.Hanya
saja, imam Syafi’iy dan ulama syafi’iyah mengatakan, bahwa
pendapat ahli nujum atau ahli hisab dianggap sah (boleh
diikuti) terbatas untuk ahli hisab itu sendiri dan orang-orang
yang membenarkannya. Sedangkan kaum muslimin pada umumnya tidak wajib berpuasa
atas dasar pendapat ahli hisab tersebut, menurut pendapat
yang rajih (unggul, terkuat).
وَاحْتَجَّ الْمَانِعُوْنَ بِأَنَّ الشَّارِعَ
عَلَّقَ الصَّوْمَ عَلَى أَمَارَةٍ ثَابِتَةٍ لَا تَتَغَيَّرُ أَبَدًا, وَهِيَ رُؤْيَةُ
الْهِلَالِ أَوْ إِكْمَالُ الْعِدَّةِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا.
Ulama yang menolak
penggunaan hisab berargumentasi, bahwa Syari’ (Allah
dan Rasul-Nya) menggantungkan pelaksanaan puasa kepada tanda-tanda (fenomena
alam) yang tetap lagi tidak berubah selamanya, yaitu dengan cara me-rukyat
hilal dan ikmal, yakni menyempurnakan usia bulan 30 hari.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : تَرَائَ النَّاسُ الْهِلَالَ
فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّيْ رَأَيْتُهُ, فَصَامَ
وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ . (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ
حِبَّانَ وَ الْحَاكِمُ).
Dari Ibnu Umar radhiyallaahu
‘anhumaa, beliau berkata:
Artinya : “Orang-orang
sama melihat hilal, lantas aku kabarkan kepada Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam bahwa aku melihatnya, lantas beliau berpuasa dan memerintahkan kepada
para sahabat agar berpuasa” (HR Abu Dawud, dan dinilai shahih oleh
Ibnu Hibban dan al-Hakim)
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا,
أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ اِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقَالَ
: إِنِّيْ رَأَيْتُ الْهِلَالَ, فَقَالَ : أَتَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ
؟. قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ؟. قَالَ :
نَعَمْ. قَالَ : فَأَذِّنْ فِي النَّاسِ يَا بِلَالُ, اَنْ يَصُوْمُوْا
غَدًا.(رَوَاهُ الْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَ ابْنُ حِبَّانَ).
Riwayat dari Ibnu Abbas
radhiyallaahu ‘anhumaa:
Artinya : “Seorang A’rabiy
datang menemui Rasulullah SAW seraya berkata, “Aku telah melihat hilal”. Beliau
bertanya, “Apakah Anda bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?”. “Ya, benar!”,
jawabnya. Beliau bertanya lagi, “Apakah Anda bersaksi bahwa Muhammad itu utusan
Allah?”. “Ya, benar!”, jawabnya. Beliau lantas bersabda : “Wahai Bilal, umumkan
kepada semua orang, agar mereka berpuasa besok”. (HR al-Khamsah, dan
dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
قُلْتُ : مِنْ هُنَا نَفْهَمُ أَنَّ
الْعِبْرَةَ بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ لَا بِوُجُوْدِهِ وَلَا بِالْعِلْم
بِوُجُوْدِهِ مِنْ طُرُقٍ حِسَابِيَّةٍ. وَهَذِهِ الْأَحَادِيْثُ
تُفَسِّرُ مَعْنَى قَوْلِهِ تَعَالَى : فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ – أَيْ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ دُخُوْلُ
الشَّهْرِ بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ فَعَلَى كُلِّ مَنْ رَآهُ أَوْ ثَبَتَتْ
عِنْدَهُ رُؤْيَةُ غَيْرِهِ اَنْ يَصُوْمَهُ. (رَاجِعْ تَفْسِيْرَ الْجَلَالَيْنِ
وَ حَاشِيَةَ الصَّاوِي عَلَيْهِ).
Menurut saya, dari sini
dapat kita pahami, bahwa yang dianggap sah dalam menentukan
awal Ramadhan dan Syawal, adalah dengan cara melihat hilal, bukan
sebab terwujudnya hilal, dan bukan dengan mengetahui wujudnya
hilal melalui berbagai metode hisab.
Hadis-hadis tentang rukyatul
hilal tersebut merupakan penafsiran terhadap isi kandungan firman
Allah :
Artinya : “… Karena itu,
barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, …” (QS al-Baqarah: 185).
Maksudnya, siapa saja
yang menyaksikan masuknya bulan dengan cara rukyatul hilal, maka
wajib berpuasa bagi orang yang melihatnya dan orang yang mendengar kabar dari
orang yang melihathilal. (Lihat : Tafsir al-Jalalain dan Hasyiyah
ash-Shawi).
وَهَذَا الْاِحْتِجَاجُ يُعَزِّزُ الْقَوْلَ
بِأَنَّ الْعِبْرَةَ فِيْ ثُبُوْتِ شَهْرَيْ رَمَضَانَ وَ شَوَّالٍ بِرُؤيَةِ الْهِلَالِ
لَا بِوُجُوْدِهِ الَّذِيْ قَدْ يُعْرَفُ مِنْ طَرِيْقِ الْحِسَابِ , أَوْ إِكْمَالِ
شَعْبَانَ لِلصَّوْمِ أَوْ رَمَضَانَ لِلْعِيْدِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا.
Argumentasi tersebut
memperkuat pendapat bahwa yang dianggap sah dalam menetapkan
awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara rukyat (melihat
hilal), dan bukan disebabkan oleh wujudnya hilal sebagaimana
yang diketahui melalui hisab, atau dengan cara ikmal, yakni
menyempurnakan bulan Sya’ban (30 hari) untuk memulai berpuasa dan
menyempurnakan bulan ramadhan untuk ber-idul fitri.
أَمَّا قَوْلُ الْمُنَجِّمِيْنَ, فَهُوَ
: وَاِنْ كَانَ مَبْنِيًّا عَلَى قَوَاعِدَ دَقِيْقَةٍ, فَإِنَّا نَرَاهُمْ تَخْتَلِفُ آرَاؤُهُمْ فِيْ
أَغْلَبِ الْأَحْيَانِ.
Pendapat ahli hisab, sekalipun hal itu didasarkan
pada kaidah-kaidah ilmu hisab yang cukup rumit, saya
benar-benar menyaksikan ternyata masih terjadi perselisihan di kalangan mereka.
Dengan kata lain, hasil perhitungan mereka sering berbeda.
ثُمَّ إِنَّ الْحَدِيْثَ الْمَذْكُوْرَ
يُفْهَمُ مِنْهُ عَدَمُ اعْتِبَارِ الْحِسَابِ إِذْ حَصَرَ الْأَمَارَةَ فِي الرُّؤيَةِ
أَوِ الْإِكْمَالِ. وَ الْحِسَابُ قَدْ يُنَاقِضُ الْإِكْمَالَ.
Kemudian hadis-hadis
tersebut tidak mengindikasikan perlunya menggunakan hisab, tetapi
membatasi tanda-tanda masuknya suatu bulan dengan cara rukyat atau ikmal.
Sementara cara hisab terkadang tidak sesuai (berbeda hasilnya)
dengan ikmal.
وَيَثْبُتُ شَوَّالٌ أَيْضًا بِمِثْلِ
مَا يَثْبُتُ بِهِ رَمَضَانُ, إِجْمَاعًا بَيْنَ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ وَغَيْرِهَا
خَارِجَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ. فَإِلَيْكَ الْآنَ قَوْلَ السَّيِّدِ
ابْنِ الْقَاسِمِ الْخُوْئِيِّ, وَهُوَ مِنْ عُلَمَاءِ الشِّيْعَةِ الْإِمَامِيَّةِ,
قَالَ : وَلَا عِبْرَةَ بِغَيْرِ مَا ذَكَرْنَا (أَيْ رُؤْيَةِ هِلَالِ رَمَضَانَ أَوْ
مُضِيِّ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا مِنْ شَعْبَانَ) مِنْ قَوْلِ الْمُنَجِّمِ, وَ نَحْوِ
ذَلِكَ … إِلَى أَنْ قَالَ : لَا بُدَّ فِيْ ثُبُوْتِ هِلَالِ شَوَّالٍ
مِنْ تَحْقِيْقِ أَحَدِ الْأُمُوْرِ الْمُتَقَدِّمَةِ (يَعْنِيْ رُؤْيَةَ الْهِلَالِ
وَشَهَادَةَ عَدْلَيْنِ اَوْ إِكْمَالَ الْعِدَّةِ ثَلَاثِيْنَ). فَلَوْ لَمْ يَثْبُتْ
شَيْئٌ مِنْهَا لَمْ يَجُزْ اَلْإِفْطَارُ. (اَلْمَسَائِلُ الْمُنْتَجِنَةُ
لِلْخُوْئِيِّ, اَلطَّبْعَةُ الثَّانِيَةُ, بِمَطْبَعَةِ الْأَدَابِ فِي النَّجْفِ
سَنَةَ 1382هـ, صَحِيْفَة 149).
Cara penetapan bulan Syawal
juga sama seperti penetapan bulan Ramadhan berdasarkan ijma’ di
kalangan ulama madzhab empat dan ulama lain diluar Ahlussunnah
wal Jamaah. Sehubungan dengan ini, perlu saya paparkan kepada Anda pendapat as-Sayyid Ibnul
Qasim al-Khu`iy, seorang ulama dari kalangan Syi’ah al-Imamiyah,
yang menyatakan bahwa pendapat ahli hisab dan yang
serupa dengannya dipandang tidak sah, selain apa yang telah kami jelaskan –
yakni rukyatul hilal ramadhan atau ikmal bulan
Sya’ban 30 hari….. Demikian pula penetapan 1 Syawal juga mesti
menggunakan salah satu dari dua cara seperti di muka -- yakni dengan rukyatul
hilal disertai kesaksian dua orang saksi yang adil, atau dengan
menggenapkan bilangan 30 hari. Jika tidak ditetapkan seperti itu,
maka tidak boleh berbuka. (Lihat : Al-Masail al-Muntajinah, karya
Al-Khu`iy, cet.2, Mathba’ah al-Adab di Najaf, th.1382 H, hal.
149).
Wallaahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar