TANYA JAWAB
dengan
KH. BISRI MUSTHOFA
dengan
KH. BISRI MUSTHOFA
Tanya jawab yang ada dalam artikel ini dicuplik dari buku “Apa, Bagaimana dan Siapa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah”, buku ini pada awalnya tertulis dalam huruf Arab pegon, kemudian diterjemahkan dan ditulis kembali oleh PC NU Pekalongan. Buku ini sendiri merupakan materi upgrading tentang ahlussunnah wal jamaah yang disampaikan KH. Bisri Mustofa di Pondok Pesantren Rembang pada tanggal 3-14 Romadlon 1386/15-26 Desember 1966. Tanya jawab ini merupakan arsip pertanyaan dan jawaban yang disampaikan dalam acara tersebut. Materi Tanya jawab ini sendiri sangat penting dikaji kembali oleh generasi muda Islam karena pada era masa kini banyak sekali pengaburan makna ahlussunnah.
KH.
Bisri Mustofa adalah menantu dari KH. Cholil Harun Kasingan Rembang. KH. Cholil
Harun sendiri adalah termasuk salah satu guru dari KH. Mahrus Ali Lirboyo dan
KH. Aqiel Cirebon (orang tua dari KH. Said Aqiel Siroj, PBNU). KH. Bisri
Mustofa sendiri adalah paman dan orang tua angkat dari Ibu Nyai Chasinah binti
KH. Chamzawi Umar isteri dari pengasuh Pesantren Nurul Huda Mergosono Malang,
KHA. Masduqi Machfudz. Semoga risalah ini bermanfaat.
PERTANYAAN-PERTANYAAN:
BETULKAH
PINTU IJTIHAD PINTU SUDAH TERTUTUP?
Permasalahannya bukan sudah tertutup
atau belum tertutup akan tetapi memandang telah lama (beratus-ratus tahun)
pintu tidak pernah dimasuki orang.
MENGAPA KITAB MADZHAB SYAFI’I MENYEBUT IJMA’ DAN QIYAS
SEBAGAI LANDASAN HUKUM?
Berdasarkan hadits:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ
شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua hal bagi kalian sehingga kalian tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang teguh dengan kedua hal tersebut: (yaitu) Kitabullah dan sunnahku.”
HR. Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak juz 1 halaman 307
Maka landasan hukum di dalam Islam
itu hanya dua, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mengapa di dalam kitab-kitab madzhab
Syafi’i ada dua masukan sebagai landasan hukum, ijma’ dan qiyas?
Kalau menurut prinsip dari pendirian
golongan syi’ah, memang ijma’ dan qiyas itu tidak dapat digunakan sebagai
landasan Hukum. Akan tetapi bagi madzhab Syafi’i dan juga madzhab mu’tabar yang
lain, menggunakan ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum itu, tidak menyimpang
dari Al-Qur’an dan Hadits, sebab Al-Qur’an dan Hadits sendiri juga
memerintahkan supaya kita menggunakan Ijma’ dan Qiyas. Kami persilahkan baca
Al-Qur’an ayat 115 di dalam surat An-Nisa':
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ اْلهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ اْلمُؤْمِنِيْنَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيْرًا
Barang siapa menentang Rasul sesudah
terang petunjuk baginya dan menuruti selain jalannya ornag-orang mu’min, maka
Allah membiarkan akan dia bersama apa yang dia sukai, dan Allah akan memasukkan
dia di dalam neraka jahannam, sejelek-jelek tempat kembali.
Hadits Shohihain:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَتِيْ
ظَاهِرِيْنَ عَلىَ اْلحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ خِلاَفُ مَنْ خَالَفَهُمْ
Tidak henti-hentinya segolongan dari
umatku, selalu terang-terangan bersama-sama membela hak (kebenaran), tidak
mempengaruhi mereka tentangan orang-orang yang menentang kepadanya.
Kami persilahkan baca ayat surat
Al-Hasyr ayat 2:
فَاعْتَبِرُوْا يَا اُولِى
اْلأَبْصَارِ
Maka ambil contohlah engkau, hai orang-orang
yang mempunyai pengertian.
Surat Amirul Mu’minin Umar bin
Khottob yang ditujukan kepada Abi Musa Al-Asy’ari:
اَلْفَهْمَ اَلْفَهْمَ فِيْمَا اَدَّى
إِلَيْكَ مِمَّا لَيْسَ فِيْ قُرْآنٍ وَلاَ فِيْ سُنَّةٍ، ثُمَّ قِسِ اْلأُمُوْرَ
عِنْدَ ذَلِكَ
Pahamilah! Pahamilah! Di dalam apa
yang datang kepadamu, daripada yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan sunah
Rasul, kemudian kiaskanlah perkara-perkara itu ketika perkara-perkara itu tidak
ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits.
HR. Al Baihaqi dalam Ktab Sunan Kubro juz 10 halaman 150
HR. Al Baihaqi dalam Ktab Sunan Kubro juz 10 halaman 150
MENGAKU TAQLID KEPADA IMAM SYAFI’I, PADAHAL HANYA TAHU
SULAM SAFINAH, FATHUL QORIB DAN FATHUL MU’IN
Orang-orang ahli taqlid mengaku taqlid kepada Imam
Syafi’i, padahal mereka hanya tahu Sulam Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in.
Apakah itu dapat dibenarkan?
Kitab-kitab Sulam Safinah, Fathul
Qorib, dan lain sebagainya itu adalah kitab-kitab bermadzhab Syafi’i. mengapa
tidak dapat dibenarkan?
Tetapi kadang-kadang Fathul Mu’in itu, di dalamnya
terdapat keterangan-keterangan yang tidak cocok dengan apa yang terdapat dalam
kitab Al-Um (Imam Syafi’i)?
Saudara jangan mengira bahwa kitab
Imam Syafi’i itu hanya al-Um saja, tetapi ada lagi yang lain. Yaitu Al-Imla’
dan Al-Buwaity. Lain daripada itu, Imam Syafi’i juga mempunyai qoidah-qoidah
yang qoidah-qoidah itu adalah poros daripada Al-Qur’an dan Hadits sehingga
kalau ada sesuatu masalah yang tidak terdapat nashnya di dalam kitab-kitab Imam
Syafi’i, masalah itu dapat diselesaikan dengan qoidah-qoidah Imam Syafi’i oleh
para mujtahid madzhab, dan atau mujtahid fatwanya.
ADZAN JUM’AT DUA KALI TIDAK MENGUBAH SUNAH RASUL?
Di zaman Rasulullah Abu Bakar dan Umar, adzan Jum’at
itu terdapat hanya sekali. Tetapi di zaman Utsman bin Affan, menjadi dua kali.
Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul?
Dua kali itu artinya sekali ditambah
sekali, bukan? Apakah saudara dapat menunjukkan dalil yang melarang menambah
adzan satu kali?
Betul. Akan tetapi ayat:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ
فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
(Al-Hasyr ayat 7)
Memerintahkan supaya kita mengambil apa yang diberikan
oleh Rasul kepada kita.
Kita sudah menjalankan satu kali.
Itu adalah yang diberikan Rasulullah kepada kita, dengan tambahan satu kali.
Tambahan satu kali ini meskipun tidak diperintahkan, apakah dilarang? Bukankah
perbuatan itu ada yang dilarang, ada yang diperintahkan dan ada pula yang tidak
dilarang, dan juga tidak diperintahkan. Sehingga di dalam istilah mantiq
disebut “Maani’ul jam’i jaizul kholwi” saudara harus dapat membedakan antara
ibarat
1. ambilah yang
hijau, dan tinggalkan yang merah,
2. ambilah yang
hijau, dan tinggalkan yang lainnya.
Ibarat ke-1 adalah ibarat maani’ul jam’i jaizul kholwi (hijau dan merah
tidak mungkin kumpul, tetapi mungkin benda itu tidak hijau dan tidak merah).
Sedang ibarat yang ke-2 adalah
maani’ul jam’i jaizul kholwi (hijau dan yang lainnnya tidak mungkin kumpul, dan
juga tidak mungkin benda itu tidak hijau dan tidak yang lain dari pada hijau).
Lalu sebaiknya bagi kita ini ikut Rasulullah ataukah
ikut Utsman bin Affan?
Kita ikut Utsman bin Affan itu juga
berarti ikut Rasulullah SAW.sebab Rasulullah telah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ
“Berpeganglah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin.”
Apalagi adzan kedua yang dilakukan
sejak zaman Utsman bin Affan itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau
sebagian daripada sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh sudah
menjadi ijma’ sukuti.
BAGAIMANA TENTANG BEDUK ITU? APAKAH TERMASUK SUNAH?
Kalau sunah itu tidak. Akan tetapi
Rasulullah tidak melarang memukul beduk, kalau saudara melarang itu namanya
keterlaluan.
SUNAHKAH TAMBAHAN SAYYIDINA DALAM SOLAWAT?
Pada waktu Rasululah ditanya, bagaimana kami membaca
sholawat atas paduka? Rasulullah menjawab, bacalah “Allahumma Sholli ‘Ala
Muhammad Wa ‘Ala Aali Muhammad” tetapi di dalam keterangan ahli taqlid selalu
digunakan tambahan Sayyidina, sunahkah tambahan itu?
Fathul Mu’in hanya menerangkan:
لاَبَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا
قَبْلَ مُحَمَّد
Tidak ada bahayanya dengan tambahan
kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad.
Adakah pada saudara dalil yang
melarang tambahan sayyidina?
لاَ تُسَوِّدُنِيْ فِي الصَّلاَةِ
Bukankah hadits itu melarang membaca sayyidina di
dalam sholat?
Di manakah saudara dapat hadits itu?
Saya tanyakan ini sebab sayyada yusayyidu
سَيَّدَ – يُسَيِّدُ
di dalam lughoh tidak atau belum
pernah saya menjumpainya, yang ada di dalam lughoh itu sawwada-yusawwidu.
سَوَّدَ – يُسَوِّدُ
Jadi termasuk fi’il yang wawiyyul
‘ain, bukan yaiyyul ‘ain sedang kalimat Sayyid itu aslinya saiwid ‘ala wazni
Fa’yil dari Sa’da-Yasudu. Wawu (و) diganti dengan Ya’ (ي) kemudian ya’ awal di-idghomkan pada ya’
tatsniyah, berdasar:
إِنْ يَسْكُنِ السَّابِقُ مِنْ وَاوٍ
وَيَا *
وَاتَّصَلاَ وَمِنْ عُرُوْضٍ عَرِيَا *
فَيَاءًا الوَاوَ اقْلِبَنَّ مُدْغَمَا.
وَاتَّصَلاَ وَمِنْ عُرُوْضٍ عَرِيَا *
فَيَاءًا الوَاوَ اقْلِبَنَّ مُدْغَمَا.
Adapun masdarnya siyadatan itu
asalnya juga siwadatan, kemudian wawu diganti dengan ya’, seperti qiyam asalnya
Qiwam, dan Inqiyad asalnya Inqiwad, berdasarkan:
ذَا أَيْضًا رَوَوْا فِي مَصْدَرِ
اْلمُعْتَلِّ عَيْنًا
Lihat al-Khulashoh bab Ibdal. Apakah
saudara juga akan berkata bahwa Tusayyidu itu asalnya Tusawwidu? Kemudian
sekaligus wawu dua diganti dengan ya’ dua? Jika demikian apakah dasarnya?
Baiklah! Andaikata hadits itu shohih, dan benar Tusayyidu itu asalnya
Tusawwidu, itu juga tidak melarang orang membaca Sayyidina. Sebab arti
harfiahnya (letterlijk) adalah “Jangan engkau mempertuan aku di dalam sholat”.
Kami membaca “sayyidina” itu, tidak kami maksudkan mempertuan, akan tetapi
sekedar menyesuaikan dengan kedudukan Nabi sebagai Sayyidu Waladi Adam.
Bukankah kalimat sayyidu itu artinya tuan, itu dalam
bahasa Arab (Jawa) bendoro?
Tidak selamanya kalimat sayyidina
itu mempunyai arti tuan itu bendoro, tapi juga yang artinya: yang mulia, yang
terhormat, pemimpin bahkan ada yang artinya suami. Bacalah ayat 55 surat Yusuf.
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى
اْلبَابِ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu”
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu”
TARAWIH DI ZAMAN UMAR BIN KHATTAB MENJADI DUA PULUH
RAKAAT, BAGAIMANAKAH ITU?
Sholat tarawih di zaman Rasullah dan Abu bakar
As-Shiddiq terdapat hanya delapan rakaat, tetapi di zaman Umar bin Khottob
menjadi dua puluh rakaat, bagaimana itu?
Dua puluh rakaat itu adalah delapan
rakaat ditambah dua belas rakaat, adakah pada saudara itu dalil yang melarang
tambahan dua belas rakaat.
Lalu bagiamanakah yang lebih baik ikut Rasulullah atau
Umar bin Khottob?
Kami telah mengikuti sunah Nabi di
dalam yang menjalankan delapan, dan mengikuti sunah Umar bin Khottob di dalam
tambahan dua belas rakaat. Dan kami mengikuti sunah Umar bin Khottab itu juga
dengan dasar perintah Rasulullah SAW. Sebab Rasulullah bersabda:
اقْتَدُوا
بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي اَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
Ikutilah dua orang sesudah aku, Abu
Bakar dan Umar
(HR. Ahmad dalam Kitab Musnadnya 38
halaman 280, dan Thabarani dalam kitab Mu’jam Kabier juz 7 halaman 460).
BAGAIMANA HUKUMNYA TAHLIL?
Mengapa saudara tanyakan hukumnya
tahlil? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca
Laa Ilaaha Illa Allah.
Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah
yang berlaku di kampung-kampung itu.
Tahlil menurut istilah yang berlaku
di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa
Ilaaha Illa Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim,
sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah
saudara juga masih tanya hukumnya?
Apakah pahala tahlil itu pasti sampai kepada orang
yang ditahlilkannya?
Pasti sampai itu tidak, kami dan
saudara sama-sama tidak tahu. Akan tetapi si pembaca tahlil itu, memohon kepada
Allah hendaknya pahala tahlil yang disampaikan kepada yang ditahlilkannya.
Apakah yang demikian itu tidak bertentangan dengan
ayat:
وَأَنَّ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ
مَا سَعَى
Bahwa manusia itu tidak mendapat pahala kecuali pahala
hasil amalnya sendiri. QS Annajm ayat 39
Sehingga seseorang tidak dapat menerima manfaat dari
orang lain.
Itu memang wajar. Juru tulis tidak
mendapat gaji kecuali gaji sebagai juru tulis, dan tidak mendapat gajinya gubernur.
Juga yang bukan juru tulis dia tidak akan bisa mendapatkan gajinya juru tulis.
Demikian pula orang yang membaca kalimat Thoyyibah, dia tidak bisa mendapat
pahala, kecuali pahalanya sebagai pembaca kalimat Thoyibah, dan tidak bisa
mendapatkan pahalanya membaca Al-Qur’an 30 Juz. Juga yang tidak dapat membaca
kalimat Thoyyibah, dia tidak dapat mendapat pahalanya membaca kalimat
Thoyyibah. Akan tetapi soalnya kita memohon kepada Allah yang Maha Murah, agar
pahala tahlil kita disampaikan kepada orang-orang yang dimaksud. Apa salahnya
memohon? Sebagaimana halnya orang-orang yang berdosa besar selain syirik, untuk
dihapus dosanya, dia harus bertaubat, tetapi kita memohon kepada Allah Ta’ala:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ
وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ
Kalau memang orang itu diberi
ampunan oleh Allah Ta’ala itu yang kita harapkan. Kalau tidak, itu adalah
semata-mata kekuasaaan Allah sendiri. Saya kira saudara ada lebih baik, tidak
mempersempit rahmat Allah yang sangat besar, lagi maha luhur itu. Lain dari pada
ayat:
وَأَنَّ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ
مَا سَعَى
Itu adalah ayat ‘Amah Makhshushoh.
Saudara saya persilahkan baca tafsir-tafsir yang Mu’tabar. Masalah-masalah yang
dikeluarkan dari ayat ini banyak sekali. Yaitu masalah-masalah dimana orang
dapat menerima manfaat dari amalnya orang lain. Sebagai contoh:
- Mayit
dapat manfaat sesuatu, karena do’anya orang lain
( اَللَّهُمَّ
اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ)
- Rasulullah
dapat memberi syafaat kepada Ahlil Mauquf Fi Al Hisab.
- Rasululah
dapat memberi syafaat kepada orang yang berdosa besar sehingga mereka
dapat dikeluarkan dari neraka. Bukankah yang demikian itu berarti bahwa
seseorang menerima manfaat dari amalnya orang lain?
- Malaikat
memohonkan ampun kepada penghuni Bumi.
- Allah
Ta’ala dapat mengeluarkan dari neraka, orang-orang yang sama sekali tidak
pernah beramal baik, dan dimasukkan di dalam surga dengan rahmat Allah.
Bukankah yang demikian itu berarti bahwa seseorang telah menerima manfaat
tidak dari hasilnya sendiri?
- Anak-anaknya
orang mu’min yang belum sampai umur, mereka dapat masuk surga tidak karena
amalnya sendiri, akan tetapi sebab amalnya orang-orang tua mereka.
- Dua
anak yatim yang diceritakan di dalam kisah Nabi Allah Khidir, Allah Ta’ala
bersabda:
وَكَانَ
اَبُوْهُمَا صَالِحًا
dan adalah ayah kedua anak tsb adalah saleh
dan adalah ayah kedua anak tsb adalah saleh
Kisah ini memberikan kesimpulan bahwa dua anak yatim ini, mendapat manfaat,
sebab kebaikan ayahnya, bukankah ini keluar daripada jiwa
. Mayit, dapat
menerima manfaat Bis Shodaqoh Anhu Wa Bil ‘Atiq, dengan nash sunah dan Ijma’
- Haji
dapat gugur dari mayit, dengan amal hajinya salah satu dari walinya bi
Nash assunah.
- Haji
Nadzar atau puasa nadzar dapat gugur dengan amalnya orang lain, bi Nash
assunnah.
- Ada
orang mati di zaman Rasulullah, orang itu banyak mempunyai hutang, pada
waktu itu Rasulullah tidak mau mensholatkan. Sehingga Abu Qotadah membayar
hutangnya mayit itu. Baru Rasulullah mau mensholatkan. Bukankah ini
terang-terangan bahwa si mayit mendapat manfaat berupa sholatnya
Rasulullah atasnya, sebab amal orang lain, yaitu qotadah yang telah
membayar hutang si mayit.
- Rasulullah
melihat ada orang sholat munfarid. Beliau berkata:”Tidakkah ada seseorang
yang mau shodaqoh kepada orang itu, yaitu mau sholat bersama dia, agar
banyak hasil fadlilah jama’ah.”
- Seorang
yang banyak hutang, dia dapat bebas dari tanggungannya apabila hutangnya
dibayar lunas oleh orang lain.
- Orang
yang ikut duduk di dalam majlis ahli dzikir, dia turut mendapat rahmat,
meskipun dia tidak turut dzikir.
- Jama’ah
sholat yang lebih besar jumlahnya, pahalanya ada lebih besar daripada
jama’ah yang kecil jumlahnya. (bukankah kebesaran pahala itu disebabkan
amal orang lain?)
- Allah
Ta’ala berfirman:
وَمَاكَانَ
اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيْهِمْ
Tidaklah Allah itu menyiksa mereka
sedang engkau berada di tengah-tengah mereka. QS. Al Anfaal ayat 33
Bukankah manfaat tidak
diturunkannyya siksa kepada mereka itu sebab orang lain?
- Rasulullah
bersabda:
لَوْلاَ
عِبَادٌ ِللهِ رُكَّعٌ وَصِبْيَةٌ رُضَّعٌ وَبَهَائِمٌ رُتَّعٌ لَصُبَّ عَلَيْكُمُ
اْلعَذَابُ صَبًّا
Andaikata tidak ada orang-orang yang
ibadah kepada Allah yang sama ruku’ dan anak-anak yang masih menyusui dan
binatang-binatang yang sama mencari makanan, maka dituangkan atas kamu sekalian
siksaan, benar-benar dituangkan. (HR. At-Thobroni dan Al-Baihaqi)
Bukankah manfaat tidak diturunkannya
siksa Allah ini, sebab orang lain? Dan masih banyak lagi. Kalau saya terangkan
semua satu persatu maka bisa menghabiskan halaman.
SEMUA BID’AH SESAT, MENGAPA ADA BID’AH HASANAH DAN
BID’AH SAYYIAH?
Saya pernah dengar hadits:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Semua bid’ah itu sesat. HR. Ibn Majah dalam kitab Sunannya
juz 1 halaman 15
Tetapi saya juga dengar dari kyai-kyai katanya bid’ah
itu ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah sayyiah, mana itu yang benar?
Kalau bid’ah Dholalah itu lafadnya
umum, tiap-tiap lafad umum yaitu biasanya kemasukan takhsis, contohnya:
Hadits:
كُلُّ شَيْئٍ خُلِقَ مِنَ اْلمَاءِ
Segala sesuatu itu dibikin dari air.
HR. Ibn
Hibban dalam Kitab Shahihnya juz 6 halaman 299
Apakah malaikat juga dibikin dari
air? Iblis apakah dari air?
Hadits:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ
حَرَامٌ
Segala yang memabukan itu khomer,
dan semua khomer itu haram. HR. Muslim dalam kitab Shahihnya juz 6 halaman 101
Kecubung itu memabukan, apakah itu
juga namanya khomer? Khomer bagi orang yang مُضْطَرٌّ apakah juga haram hukumnya?
Hadits:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Semua kamu itu penggembala, dan
semua kamu itu ditanya dari hal ro’iyahnya .HR. Muslim dalam kitab Shahihnya juz 6 halaman 7
Apakah orang gila dan orang makruh,
juga masuk dalam hadits ini? Kesemuanya itu dijawab tidak? Demikian pula kalau
bid’ah dholalah. Apakah karena hadits ini maka saudara sampai hati mengatakan
bahwa perbuatan Utsman bin Affan yang memerintahkan adzan jum’at dua kali itu
dholalah? Dan Umar bin Khottob yang menjalankan tarawih dua puluh rakaat itu
juga dholalah? Baca Barzanji yang isinya sejarah Maulid Nabi itu juga dholalah?
Mendirikan pondok pesantren dan madarasah itu juga dholalah? Dan saudara
sendiri yang tidak dholalah. Apalagi kalau menurut riwayat yang diriwayatakan
oleh Ad Dailamy Fi Musnadil Firdausi, hadits itu berbunyi:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ إِلاَّ فِي
عِبَادَةٍ
Kami persilahkan melihat Kunuzul
Haqoiq fi Hadits Khoirul Kholaiq juz Tsani Shohifah 39.
Bagaimana kebenaran hadits berikut?
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هذَا مَا
َليْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang
mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka
dia tertolak. HR.Muslim
dalam Kitab shahihnya juz 5 halaman 132
Hadits itu memang benar diceritakan
oleh Bukhori wa Muslim wa Abi Dawud wa Ibnu Majah dari Aisyah, akan tetapi
perhatikanlah benar-benar terjemahannya! “Barang siapa mengada-ada (menimbulkan)
di dalam agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber darinya, maka ia
ditolak”. Lalu apalagi yang saudara maksud? Kalau kita mengerjakan sholat
shubuh empat rakaat, atau sholat mayit pakai ruku’, sujud, itu memang ditolak,
sebab yang demikian itu tidak ada sumbernya dari agama. Adapun yang ada
sumbernya dari agama, sebagaimana masalah-masalah yang disebut dimuka (adzan
jum’at dua kali, tarawih dua puluh rakaat dan lain sebagainya) ia tidak
termasuk yang ditolak.
Sesungguhnya apakah yang disebut bid’ah itu?
Memang arti Bid’ah ini sesungguhnya
harus ditanyakan terlebih dahulu, sebelum disodorkannya hadits:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Bid’ah itu ada dua macam:
1. Bid’ah
syar’iyah
2. bid’ah
lughowiyah.
Tiap-tiap ucapan, perbuatan atau i’tikad yang tidak bisa disaksikan
kebenarannya oleh ushulis syar’iyah (Al Kitab, Sunah, Al Ijma’, Qiyas) maka itu
Bid’ah Mardudah. Inilah yang dimaksud oleh haditsnya Aisyah tersebut di atas.
Ini pula yang disebut Bid’ah Syar’iyah.
Adapun Bid’ah lughowiyah, yaitu
segala yang belum pernah terjadi pada zaman Rasululah SAW. Bid’ah lughowiyah
terbagi menjadi lima:
- Bid’ah
Wajibu Ala Kifayah, misal mempelajari Al Ulumul Arabiyah sebagai alat
masuk memahami Al-Qur’an Dan Hadits.
- Bid’ah
Muharromah, misanya seperti I’tiqod dan hal ihwal ahli bid’i yang
bertentangan dengan thoriqoh Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
- Bid’ah
Mandubah, yaitu perbuatan-perbuatan yang baik tidak terjadi pada zaman
Rasulullah SAW.seperti mendirikan madrasah-madrasah untuk memudahkan
cara-cara memberi pelajaran agama kepada murid-murid.
- Bid’ah
Makruhah, misalnya seperti menghias masjid dengan hiasan yang
berlebih-lebihan.
- Bid’ah
Mubahah, sepeti bermewah-mewah dalam makan minum.
ISLAM TIDAK MENGENAL SELAMATAN, MENGAPA TIDAK
DIBERANTAS?
Selamatan-selamatan model Budha seperti ambengan,
kupat lepet, bubur (jenang) mirah, dan lain sebagainya itu apakah tidak
seharusnya diberantas? Sebab sudah terang di dalam Islam tidak ada?
Shodaqoh itu pada prinsipnya adalah
anjuran Islam.
وَفِي اْلحَدِيْثِ: اَلصَّدَقَةُ
أَفْضَلُ مِنَ الصِّيَامِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ
Shodaqoh lebih utama dari pada
puasa, dan puasa itu sebagai tameng dari pada neraka. (HR. Addailamy Fi
Musnadihi Al Firadus)
الَصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ
كَمَا تُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ
Shodaqoh itu dapat memadamkan
kesalahan, laksana air memadamkan api. (HR. Addailamy Fi Musnadihi Al Firadus).
Dan masih banyak lagi. Kemudian
macam apa, dan berupa apa shodaqoh itu, Islam tidak menentukan, bahwa
Rasulullah pernah berkata,
تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمْرَةٍ
Shodaqohlah kamu, meskipun hanya
berupa sebutir kurma. (HR. Al Bukhori). Hadits ini menunujukkan bahwa shodaqoh
itu, berupa apa saja dan berapa saja jumlahnya, Rasulullah tidak menentukan.
Berupa bubur (jenang), berupa panggang ayam, berupa kupat lepet, berupa ambeng,
pendek kata berupa apa sajalah, meskipun hanya dengan sebutir kurma, cukuplah
buat shodaqoh.
Adapun shodaqoh di Jawa dilaksanakan
berupa ambeng, jenang, kupat lepet, dan lain sebagainya itu adalah halnya adat
yang tidak bertentangan dengan Islam. Memang wali sembilan di zaman dahulu ( ±
lima ratus tahun yang lalu) di dalam menyiarkan agama Islam di Jawa, caranya
amat bijaksana. Yaitu tiap-tiap adat yang tidak bertentangan dengan Islam sama
sekali tidak diberantas. Baik adat itu cara berpakaian, cara berumah tangga,
cara bersosial dan lain sebagainya. Apalagi adat di dalam pelaksanaan selamatan
di Jawa ini memang mengandung hikmah-hikmah yang dalam. Sebagai misal
umpamanya:
- Ambengan.
Akhir-akhir ini telah banyak terjadi diganti dengan takiran (nasi kotak). Coba bandingkan. Jika yang diundang selamatan sebanyak 20 orang, persediaan takiran juga 20 buah, kemudian karena suatu hal yang hadir 30 orang. Bagaimana caranya mengatasi nasibnya kelebihan undangan yang sepuluh orang? Tetapi kalau dengan cara ambeng mudah sekali. Yang dipanggil selamatan 20 orang, pesediaan ada 30 ambeng. Kemudian yang datang ada 30? Baiklah, sekarang tiga buah ambeng untuk tiga puluh orang.
Saudara mungkin akan berkata,
“Dengan takiran juga mudah, yaitu yang tidak membawa surat undangan ditolak.”
Menurut kami cara demikian itu tidak cocok dengan kepribadian orang-orang
Timur, terutama orang Jawa. Perasaan orang timur itu sangat halus. Kalau dia
mengundang tetangganya untuk hadir dalam upacara khitanan umpamanya, kemudian
turut datang juga beberapa orang yang tidak diundang, maka dia tidak sampai
hati untuk menolak mereka. Di sini, inilah letak faedah daripada ambengan.
. Bubur (jenang).
Sudah menjadi watak bagi manusia,
terutama orang-orang Indonesia bahwa disamping mereka itu senang menerima
pemberian, juga senang memberi kepada orang lain, meskipun kiranya kalau mereka
itu hanya selalu diberi, tetapi tidak pernah memberi. Malu agaknya mereka itu
kalau mereka itu hanya selalu dundang selamatan, tetapi tidak pernah mengundang
selamatan. Agar supaya orang-orang yang tidak memberi itu juga dapat turut
menikmati amal perbuatan memberi, aka dianjurkanlah pemberian itu berupa bubur
(jenang), sebab bubur itu kecuali kelihatan pantas, juga modalnya sederhana
sekali. Kalau beras sekilo itu apabila dijadikan nasi hanya cukup buat enam
orang, tetapi kalau dibagikan bubur bisa cukup buat lima belas orang sampai dua
puluh ornag. Belum lagi dihintung pengantarnya. Kalau nasi sekurang-kuranngnya harus
diantar oleh lauk pauk, tetapi bubur cukup dihantar dengan kelapa tua dan gula
jawa.
- Kupat
atau ketupat.
Ketupat itu bahannya sederhana
sekali. Ketupat yang agak lumayan besarnya itu bisa cukup dua sendok beras.
Lain daripada itu, kalau tiap setahun sekali kita selamatan ketupat itu berarti
kita memberikan peringatan kepada tetangga kita supaya tetap bersatu. Kalau dua
sendok beras yang dapat bercerai berai itu dapat dipersatukan, sehingga kumpul
menjadi satu merupakan benda berat yang sedang ia tidak berakal, mengapa
manusia yang berakal tidak dapat disatukan dalam satu rangka ketupat? Saya rasa
tiga contoh ini cukup.
MENGAPA ORANG YANG MEMEGANG ATAU MEMBAWA AL-QUR’AN
HARUS BERWUDLU DAHULU?
Di dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
Yang maksudnya bila kamu sekalian akan berdiri sholat,
maka basuhlah mukamu (dan seterusnya). QS Al Maidah ayat 6
Jadi jelas bahwa ada perintah wudlu itu digantungkan
pada apabila orang akan sholat.
Tetapi mengapa kyai-kyai selau mengatakan orang yang
akan memegang Al-Qur’an atau membawa Al-Qur’an dia harus ambil air wudlu
dahulu. Dan kalau tidak berwudlu maka haram menyentuh, memegang/membaca
Al-Qur’an?
Kalau demkian caranya saudara
memahami ayat Al-Qur’an maka bisa terjadi hukum itu menjadi kacau, sebab
ayat-ayat yang bentuknya semisal ayat yang saudara sebutkan itu banyak sekali.
Sebagai contoh umpamanya
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَاْلفَتْحُ
وَرَأَيْتَ الناَّسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللهِ اَفْوَاجًا فَسَبِّحْ
بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرُهُ
Apabila datang pertolongan Allah,
dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk di dalam agama Allah, maka
bacalah tasbih dengan memuji Tuhanmu Dan mohon ampunlah.
Apakah saudara juga akan berkata,
“Mengapa kyai-kyai membaca Subhanallah Wabihamdihi?” Astaghfirullah! Toh
pertolongan Allah belum datang, kemenangan juga belum datang?
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ
اَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لهَمُاَ اُفٍّ
Kalau salau satu daripada bapak ibu,
atau kedua duanya telah sampai umur tua, berada pada sisimu, maka jangan kamu
bentak-bentak.
(Surat Al Isro’ ayat 23)
(Surat Al Isro’ ayat 23)
Jelas bahwa orang yang membentak
kepada bapak ibu itu, digantungkan pada: kalau bapak ibu sudah berumur tua dan
terkumul dengan anaknya.
Apakah saudara juga akan berkata,
“Mengapa kyai-kyai itu selalu melarang saya membentak bapak ibuku, sedang bapak
ibu tuh masih muda-muda dan tidak berkumpul bersamaku?” Masih banyak
contoh-contoh lain.
Adapun para ulama’ berfatwa, bahwa
orang yang tidak berwudlu, maka dilarang menyentuh atau membawa Al-Qur’an, itu
dasarnya adalah Ijma’ Al Aimatul Arba’ah, disamping memang ada haditsnya yaitu:
hadits yang diriwayatkan oleh Hakim ibnu Hazm:
إِنَّ النَّبِي صَليَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَمَسَّ اْلقُرْآنَ إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
Sesungguhnya Nabi shallallaahu
‘alaih wasallam bersabda: Jangan engkau menyentuh al-Qur’an kecuali engkau suci
(HR. At Thobroni Dan ad Darruquthni dan Al Hakim).
(HR. At Thobroni Dan ad Darruquthni dan Al Hakim).
Juga ayat
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ
Kalau ayat
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ
Ini saya kira tidak dapat digunakan sebagai dasar,
sebab yang dimaksud adalah Al-Qur’an pada waktu masih di Lauhil Mahfudl, dan
Muthohharun adalah malaikat. Jadi artinya kalam Allah di Lauhil Mahfud itu
tidak dapat disentuh kecuali oleh malaikat yang suci.
Saudara saya persilahkan membaca
ayat sesudahnya, yaitu:
تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ اْلعَالمَيْنَ
Jadi jelas bukan Al-qur’an (Lauhil
Mahfud). Tetapi Al-Qur’an yang diturunkan. Kalau yang dimaksud dengan
Muthoharun itu malaikat yang suci-suci berarti ada malaikat yang tidak suci,
padahal semua malaikat adalah suci. Lain dari pada itu kalam Allah (Lauhil
Mahfudl) itu tidak ada huruf dan suaranya, bagaimana itu bisa disentuh?
Baiklah, kalau saudara tidak mau menerima ayat tadi sebagai dasar hukum, apakah
haditsnya Hakim Ibnu Hazm juga tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum?
BAGAIMANA HUKUMNYA TALQIN MAYIT, SETELAH MAYIT SELESAI
DIKUBUR?
Talqin mayit, kalau mayitnya muslim
mukallaf, para ulama’ Ahlu Sunah wal Jama’ah menetapkan hukumnya sunah. Dengan
dasar ayat:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ
اْلمُؤْمِنِيْنَ
Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu,
manfaatbagi orang-orang mu’min (Adz-Dzariyat ayat 55)
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Utsman radhiyallaahu ‘anhu berkata:
كاَنَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ اْلمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ
اِسَتَغْفِرُوْا ِلاَخِيْكُمْ وَاسْئَلُوْا اللهَ لَهُ التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ
اْلآنَ يُسْئَلُ
Adalah Rasulullah itu manakala
selesai dari menanam mayit, maka berhentilah beliau di atas kubur mayit itu
(sejenak) Dan berkata,”Mohon ampunlah kamu untuk saudaramu dan mohonlah kepada
Allah ketabahan bagi saudaramu, karena dia sekarang ini sedang ditanya. (Hadits
hasan HR. Abu Dawud)
Apa gunanya orang sudah mati dan telah berada di dalam
qubur mesti diperingatkan?
Sebab pada waktu itu, dia sangat
membutuhkan peringatan dan doa dari teman-teman yang masih hidup, sebagaimana
yang ditunjukkan oleh ayat dan Hadits tersebut.
Adakah Hadits yang menerangkan bahwa pelaksanaan
talqin itu sebagaimana yang berlaku di kampung-kampung sekarang ini?
Rasulullah bersabda dalam hadits
yang amat panjang. Oleh sebab itu saudara saya persilahkan melihat sendiri di
dalam haditsnya Thobroni ini atau I’anatut Tholibin juz Tsani shohifah 14 (HR.
At Thobroni)
Apakah Hadits yang diriwayatkan Thobroni itu tadi
bukan Hadits dho’if?
Hal itu terserah pada penilaian
saudara. Akan tetapi meskipun dho’if tidak ada halangannya hadits itu
dipergunakan sebagai landasan, sebab masalah talqin itu termasuk Fadhoil.
Imam Ahmad Hambali wa Ghoirihi minal
aimmati pernah berkata, “Manakala kami meriwayatkan di dalam soal-soal halal
dan haram, maka kami perkeras penelitian kami, dan manakala kami meriwayatkan
di dalam Fadhoil maka kami peringan penelitian kami.”
Tadi dibawa-bawa ayat di dalam surat Dzariyat.
Bukankah yang dimaksud mukmin ini, orang-orang mukmin yang masih hidup?
Apakah yang menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan mu’min itu orang-orang mu’min yang masih hidup? Apakah
bapak-bapak kita yang telah wafat itu tidak dapat disebut orang-orang mu’min?
Bukan begitu maksud saya. Maksud saya kalau
orang-orang yang sudah mati itukan tidak ada gunanya diperingatkan, sebab
mereka sudah tidak dapat mendengar.
Saudara saya persilahkan baca
tarikh, pada waktu selesai perang badar, dan beberapa gembong musyrikin telah
dimasukkan ke dalam sumur, pada waktu itu Rasulullah mendekati sumur kemudian
memanggil nama-nama gembong-gembong tadi satu persatu dan kemudian berkata:
أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ
أَطَعْتُمُ اللهَ وَرَسُولَهُ إِلَى أَخِرِ مَا قَالَ
Apakah kamu suka seandainya kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya ?...dst
Mendengar Rasulullah memanggil
bangkai orang-orang musyrik itu, shahabat Umar bin Khottob berkata, “Apa artinya
berbicara dengan bangkai-bangkai yang telah tidak bernyawa itu?” Rasulullah
menjawab:
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ
مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ. لَكِنَّكُمْ لاَيَسْتَطِيْعُونَ
جَوَابًا
Demi Allah, tidaklah kamu itu lebih
dapat mendengar apa yang kamu katakan daripada mereka, tetapi mereka tidak
dapat menjawab.
HR. Bukhari dalam kitab Shahihnya ju 10 halaman 1
HR. Bukhari dalam kitab Shahihnya ju 10 halaman 1
Kalau tarikh itu betul, apakah tidak bertentang dengan
ayat:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمَعٍ مَنْ فِي
القُبُورِ
Tidaklah engkau Muhammad, dapat memberikan pendengaran
orang-orang yang berada di dalam kubur
إِنَّكَ لاَتُسْمِعُ المَوْتَى
Sesungguhnya engkau tidak dapat memberikan pendengaran
kepada orang-orang yang mati
Ayat ini, tersebut dalam surat
Fathir ayat 22. Sebaiknya di dalam memahami sesuatu ayat, hendaknya ayat
sebelum dan sesudahnya, saudara datangkan pula, agar tidak menyalahkan paham.
Lain daripada itu, juga harus menggunakan tafsir yang mu’tabar. Baiklah ini
saya datangkan ayat-ayat itu berikut dengan tafsirnya:
(وَمَا يَسْتَوِى الأَعْمَى
وَالبَصِيْرُ)
al kafir wa Mu’min
(وَلاَالظُّلُمَاتُ)
al kafir
(وَلاَالنُورُ)
al Iman
(وَلاَالظِّلُّ وَلاَ
الحُرُورُ)
al Jannah wa an Nar
(وَمَا يَسْتَوِى الأَحْيَاءُ
وَلاَ الأَمْوَاتُ)
al Mu’min wal Kuffar.
(إنَّ اللهَ يُسْمِعُ مَنْ
يَشَاءُ) هِدَايَتَهُ فَيُجِيبُهُ بِالإِيِمَانِ (وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى القُبُورِ) اي الكُفَّارِ شَبَّهَهُمْ
بِالمَوتَى فِى عَدَمِ الإِجَابَةِ (إنْ أَنْتَ إِلاَّ نَذِيْرٌ)
Dengan tafsir ini jelas bahwa (Man
fil Qubur):
Orang-orang yang di dalam qubur itu
artinya orang-orang kafir yang disamakan dengan orang-oang yang ada di dalam
qubur, sama di dalam tidak menjawab panggilan Rasululah SAW. Orang-orang kafir
mendengar ajakan Rasulullah tetapi tidak menyambut baik. Abu Jahal dan
kawan-kawannya yang dimasukkan ke dalam sumur di Badar, juga mendengar
panggilan Rasulullah SAW. Tetapi mereka tidak dapat menjawab.
Ayat (An Nahl ayat 80):
إِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ المَوتَى
Saya tuliskan ayat itu berikut kelanjutan serta
tafsirnya.
فَالْعَاقِبَةُ لَكَ بِالنَّصْرِ عَلَى الْكُفَّارِ ثُمَّ ضَرَبَ أَمْثَالًا
لَهُمْ بِالْمَوْتَى وَبِالصُّمِّ وَبِالْعُمْيِ فَقَالَ :
{ إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِيْنَ }
{ إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِيْنَ }
{
وَمَا أَنْتَ بِهَادِي الْعُمْيِ عَنْ ضَلَالَتِهِمْ إِنْ } مَا { تُسْمِعُ } سَمَاعَ
إِفْهَامٍ وَقَبُوْلٍ { إِلَّا مَنْ يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا } الْقُرْآنِ { فَهُمْ مُسْلِمُوْنَ
} مُخْلِصُوْنَ بِتَوْحِيْدِ اللهِ
Jelas bahwa yang dimaksud dengan
maut adalah orang-orang kafir. Mereka sesungguhnya mendengar ajakan Rasulullah
SAW tetapi tetap tidak iman. Disamping itu coba perhatikan hadits Rasulullah
tentang ziarah qubur berikut ini:
وَعَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوْا
إِلَى المَقَابِرِ أَنْ يَقُولَ قَائِلُهُمْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ
الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّ إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ
لاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمْ العَافِيَةَ. رَوَاهُ مُسْلِم
Dari Buraidah RA, dia berkata,
“Adalah Rasulullah SAW itu memberikan pelajaran kepada orang-orang manakala
mereka keluar ke qubur, hendaknya salah satu dari mereka mengucapkan:
“Assalamualaikum hai keluarga desa dari orang-orang mukmin dan muslim.
Sesungguhnya kami, Insya Allah, akan menyusulmu. Kami memohon kepada Allah
ta’ala keselamatan untuk kami dan untuk kamu”.
Tolong pikirkan sejenak kawan! Kalau
sekiranya orang-orang mati itu tidak mendengar, apa gunanya diberi salam.
Doanya menggunakan kalimah Walakum (dlomir khitob), tidak walahum (dlomir
ghoibah). Apa itu artinya?
SHOLAT HARI RAYA ITU SEBAIKNYA DILAKSANAKAN DI MASJID
KAH ATAU DI LAPANGAN?
Sholat hari raya itu dilaksanakan di
masjid boleh, di musholla atau di lapanganpun boleh. Tentang mana yang lebih
afdlol itu ada tafsil/perinciannya. Kalau masjid setempat sempit, tetapi
diantara umat Islam setempat terdapat orang-orang dloif/lemah, sebab sudah tua
agak sakit-sakitan sehingga berat untuk hadir di lapangan, maka disamping
sholat hari raya di lapangan juga diadakan di Masjid, untuk menampung
teman-teman yang dloif. Yang tersebut tadi kalau tidak kebetulan hujan. Kalau
terjadi hujan, maka sholat hari raya dilaksanakan di Masjid.
وَعَنْ أَبِى هٌرِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ أصَابَنَا مَطَرٌ فِيْ يَومِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ مسْجِدٍ
.
Dari Abu
Hurairah, dia berkata: datang hujan pada kami sewakti hari raya, maka
Rasulullah sembahyang dengan kami di dalam Masjid. HR. Abu
Dawud dalam Kitab Sunannya juz 1 halaman 451
Kalau
Masjid setempat luas, sehingga dapat menampung pengunjung sholat ied, maka
dilaksanakan di Masjid adalah lebih afdlol. Itulah sebabnya sejak dahulu hingga
sekarang sholat ied di Makkah dan Madinah selalu dilaksanakan di Masjid, karena
Masjid adalah lebih mulia dan lebih bersih daripada lapangan.
APAKAH SAH DAN TIDAK
BID’AH UNTUK MENGUCAPKAN NIAT SHALAT PADAHAL MESTINYA NIAT DENGAN HATI?
Niat itu tempatnya di
hati, dan memang seharusnya niat itu dengan hati, akan tetapi saya dengar
orang-orang bersembahyang di Masjid, niatnya dengan ucapan Usholli fardlo
dzuhri dst. Sahkah itu?
Niat itu
memang tempatnya di hati. Kalau hanya ucapan Usholli fardlo dzuhri dan
seterusnya saja itu namanya bukan niat.
Kalau demikian, lalu apa
gunanya baca Usholli?
Gunanya
untuk menolong agar hati kita itu ingat mensahajakan, sebab manusia itu
tempatnya lupa. Apalagi di dalam niat itu, kita harus Ta’ridh dan Ta’yin. Untuk
ingat mensahajakan sholat berikut ta’ridh dan Ta’yin adalah tidak mudah.
Bagaimana hukumnya kalau orang
sholat tidak baca usholli, tetapi sudah niat hati? dan bagaimana hukumnya baca
usholli padahal juga juga niat dengan hati?
Sholat
dengan niat yang mencakup syarat, tanpa baca usholli ila akhirihi hukumnya sah.
Melengkapi dengan bacaan usholli ila akhirihi hukumnya mandub. Menurut
keterangan kitab-kitab fiqih yang menjadi pegangan para ulama’seperti Fathul
Qorib, Fathul Mu’in dan lain sebagainya.
Tetapi saya pernah membaca
majalah berbahasa Indonesia. Di sana diterangkan bahwa bacaan Usholli ila
akhirihi itu tidak baik, bahkan termasuk bid’ah yang sesat.
Hal itu
terserah kepada saudara. Kami dan saudara sama-sama mempunyai pegangan. Kami
mempunyai pegangan kitab-kitab Fathul Mu’in dan sebagainya. Dan saudara
sama-sama mempunyai pegangan. Saudara juga mempunyai pegangan majalah.
Sayangnya ada sedikit perbedaan yaitu Fathul Mu’in mengatakan bahwa tidak
membaca Usholli juga boleh, dan tidak sesat, tetapai majalah yang saudara
sebutkan mengatakan bacaan Usholli tidak baik dan sesat. Jadi Fathul Mu’in
tidak menganggap salah kepada orang yang tidak membaca Usholli dan majalah
tersebut mengangggap salah kepada orang yang membaca Usholli.
Sebabnya dikatakan sesat
dan dikatakan salah, karena menambah aturan-aturan di dalam sholat.
Keterangan
saudara itu tidak benar, karena sholat itu dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam. Jadi sebelum waktu takbir itu namanya belum sholat, sedang bacaan
Usholli itu dilakukan sebelum Takbirotul Ihrom. Itu dengan kata-kata lain
diucapkan di luar sholat, dan sama sekali tidak mengganggu tata tertibnya
sholat.
BAGAIMANA HUKUMNYA BACA
MANAQIB?
Mengertikah
saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari
mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak
perangai terpuji seseorang.
Jadi
membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya
seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik
mulia: manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul
Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan
tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan
lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih
tetap menanyakan hukumnya manaqib?
Betul tetapi cerita di
dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu berlebih-lebihan,
sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu
keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri
lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau
saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya
berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi
teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat Umar bin Khottob berkirim surat
kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada
prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah.
Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung
yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita
tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak
lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau keluar dari Nabi
Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi,
apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?
Baik
Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob,
kesemuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk
akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat
menghalang-halangi?
Apakah selain Nabi Allah
juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal
yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya
mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.
Adakah dalil yang
menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan hal-hal yang
menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?
Silahkan
saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang
dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِيْ عِنْدَهُ عِلْمٌ
مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ.
فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْ
لِيَبْلُوَنِيْ أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ
لِنَفْسِهِ وَمَنْ
كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ
berkatalah
seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana
itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia
Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan
nikmat-Nya)..
dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha
Kaya lagi Maha Mulia".
Tetapi di dalam manaqib
Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang suci
atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu
tidak menjadikan musyrik?
Memanggil-manggil
untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapak
ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau
pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan
pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik.
Akan
tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka
itu tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan
(ghouts) kepada para wali itu maksudnya adalah minta dimohonkan kepada Allah
Ta’ala.
Manakah yang lebih baik,
berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?
Langsung
boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan
Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala
melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat
kepada atasan dengan perantaraan Kepala Kantor saudara. Pengertian tawassul
yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap
yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga
disamping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga
percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak
seperti itu.
Kalau
saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau
Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata.
Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala
berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِيْ
أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan
Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ
الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan
memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ
إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-orang yang tidak
menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi
ayat-ayat serupa itu.
Betul
akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan
pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan
contoh di bawah ini:
Saudara
mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar, saudara sudah
kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya
ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara
saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan
perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang
ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan
bapak. Saya ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini
adalah orang yang baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”. Coba
perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak
saudara menghadap majikan besar itu?
Ada dua
orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua
anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi
baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih
mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang
kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah gunanya
pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah
pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu
meminta?
Semoga kiranya risalah
yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah
Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar